BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pernikahan adalah merupakan sunatullah, bahwa makhluk
bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan (Q.S.
Al-Dzariyat : 49). Namun terdapat perbedaan yang besar antara manusia yang nota
bene memiliki hawa nafsu dan akal dengan hewan yang hanya memilki nafsu. Dengan
hanya memiliki nafsu ini hewan tidak bisa berbudaya dan tidak bisa membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk, kecuali dalam beberapa hal kecil untuk
mempertahankan hidupnya, yang muncul berdasarkan instinct. Oleh karenanya hewan
bisa menyalurkan nafsunya dengan sesukanya tanpa batasan, sedangkan manusia
tidak dapat menyalurkan nafsunya seperti hewan, melainkan harus dengan
peraturan-peraturan yang berbentuk institusi perkawinan.
Dalam sejarah umat manusia, baik manusia
priminif maupun manusia modern mengakui adanya institusi perkawinan ini,
meskipun dengan cara berbeda-beda. Penyimpangan terhadap ketentuan ini seperti
prostitusi dianggap sebagai penyakit masyarakat yang harus dihilangkan. Memang
dalam kenyataannya terdapat sejumlah komunitas yang walaupun mengakui institusi
perkawinan, tetapi memiliki persepsi yang spesipik tentang hubungan seksual
diluar perkawinan. Misalnya saja pada masyarakat Eskimo untuk menghormati tamu
yang terpandang menyuruh isterinya untuk tidur dan memberikan pelayanan sex
seperlunya kepada tamu tersebut. Demikian pula halnya pada beberapa kelompok
suku di pulau Mentawai, Flores, mengizinkan anak-anak gadisnya melakukan
hubungan sex diluar nikah, karena anak-anak gadis yang trampil memberikan
pelayanan sex akan laku lebih dahulu.
Dalam Islam perkawinan dimaksudkan adalah untuk
memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan
keturunan, dalam suasana yang mawaddah (saling mencintai) rahmah (saling
berkasih sayang) antara suami isteri, hal ini sebagaimana maksud dari makna
Q.S. al-Rum : 21. Dan perkawinan yang baik adalah perkawinan yang dilakukan
oleh seorang suami dan isteri yang seakidah, seakhlak dan satu tujuan,
disamping cinta dan ketulusan hati. Sehingga dibawah naungan keterpaduan inilah
kehidupan suami isteri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga
akan bahagia anak-anak akan sejahtera, hingga akhirnya terwujud tujuan
perkawinan yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah
dan rahmah.
Menurut pandangan Islam, tujuan perkawinan tidak
akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami dan isteri tersebut berpegang
pada satu keyakinan yang sama dan mereka teguh dalam melaksanakan ajaran
agamanya. Jika agama keduanya berbeda, makan akan timbul berbagai permasalahan
dalam keluarga itu, misalnya saja dalam masalah pelaksanaan ibadat, pendidikan
anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain sebagainya yang
pasti akan timbul dalam keluarga tersebut. Islam dengan tegas melarang wanita
Islam menikah dengan pria non-muslim, baik musrik maupun ahlul kitab, demikian
pula halnya seorang pria Islam dilarang menikahi wanita musyrik, kedua bentuk
perkwinan ini mutlak diharamkan.
Yang menjadi permasalahan adalah apabila
perkawinan itu antara seorang pria Islam dengan wanita Ahlul kitab, bagaimana
status perkawinan mereka, berdasarkan zahir ayat 221 Q.S. al-Baqarah maka boleh
seorang pria muslim menikahi wanita ahlul kitab, demikian halnya menurut pandangan
ulama pada umumnya, kendati demikian tidak sedikit pula ulama yang melarang
perkawinan semacam ini, Dalam makalah yang sederhana ini penulis akan mencoba
membahas permasalahan tersebut ditinjau dari pandangan ulama mazhab empat dan
dikaitkan dengan kenyataan aktual yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat
ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
pandangan hukum Indonesia terhadap pernikahan lintas agama?
2. Bagaimanakah
pernikahan beda agama menurut Al-Quran?
3. Bagaimanakah
hukum pernikahan lintas agama menurut empet mazhab?
C.
Tujuan
Penulisan Makalah
1. Untuk
mengetahui pandangan hukum Indonesia terhadap pernikahan lintas agama?
2. Untuk
mengetahui pernikahan beda agama menurut Al-Quran?
3. Untuk
mengetahui hukum pernikahan lintas agama menurut empet mazhab?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penikahan
antar orang yang berlainan agama menurut hukum di indonesia
Undang-undang perkawinan yang mulai berlaku
secara efektif tanggal 1 oktober 1975 mempunyai cirri khas kalu dibandingkan
dengan hokum perkawinan sebelumnya terutama dengan undang-undang atau peraturan
perkawinan yang dibuat oleh dan diwariskan oleh pemerintah colonial belanda
dahulu yang menganggap perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
hanyalah hubungan sekuler, hubungan sipil atau perdata saja, lepas sama sekali
dengan agama atau hokum agama. Undang-undang perkawinan yang termaktub dalam UU
Nomor 1 Tahun 1974 berasaskan agama. Artinya sah tidaknya perkawinan seseorang
ditentukan oleh hukum agamanya. Ini sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia:
Pancasila dan salah satu kaidah fundamental Negara yaitu ketuhanan yang Maha
Esa yang disebut dalam pembukaan dan dirumuskan dalam batang Tubuh Undang
Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 bab Agama. Pasal 2 ayat 1 Undang Undang
perkawinan dengan tegas menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Anak kalmiat “agamanya dan kepercayaannya itu”
berasal dari ujung ayat 2 Pasa 29 Undang Undang dasar 1945, dibawah judul
agama. Oleh karena itu adalah tepat dan berasalan keterangan almarhum Bung
Hatta pada waktu Undang-Undang perkawinan di sahkan pada tahun 1974, seperti
telah disinggung di muka, bahwa perkataan kepercayaan dalam pasal 2 ayat
1 Undang-undang perkawinan yang berasal dari Undang-undang Dasar 1945 itu
adalah kepercayaan agama yang diakui eksistensinya dalam Negara Republik Indonesia,
bukan kepercayaan menurut aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Kunci pemahaman yang benar tentang ini adalah: Pasal 29 UUD 1945 berada di
bawah judul agama dan perkataan itu yang terletak setelah
perkataan “kepercayaan” dimaksud. Kepercayaan menurut aliran kepercayaan adalah
kepercayaan menurut agama. Oleh Karena itu adalah logis kalau aliran
kepercayaan ditempatkan di Derektorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, bukan di Departemen Agama.
Dengan demikian, di dalam Negara Republik
Indonesia, tidak boleh ada dan tidak boleh dilangsungkan pernikahan di luar
hukum agama atau kepercayaan agama yang diakui eksistensinya yaitu Islam,
Nasrani (baik Katolik maupun Protestan), Hindu dan Buda di tanah air kita. Dan
sebagai Konsekuensi di anutnya asas bahwa perkawinan adalah sah kalu dilakukan
menurut hukum agama dan kepercayaan agama, maka segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama yang dipeluk oleh
warga Negara republik Indonesia.
B.
Perkawinan
antar orang yang berbeda agama
Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud
dengan perkawinan lintas agama adalah perkawinan antar agama, yaitu perkawinan
yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan
seorang wanita atau seorang pria yang beragama non-Islam. Perkawinan antar
agama disini dapat terjadi:
1. Perkawinan
antara seorang pria beragama
Islam, dengan wanita musryik, maupun ahlul kitab
2. Perkawinan
antara seorang wanita beragama
Islam, dengan pria non-muslim.
Mengenai hukum perkawinan beda agama ini disatu
sisi melarang dan mengharamkannya. Hal ini disebabkan karena dalam sejumlah ayat yang secara literal melarang
dan mengharamkan perkawinan antar agama ini, itulah sebabnya mengapa kelompok
ekslusif melarang dan mengharamkan hukum perkawinan antar agama ini.
Hukum seorang pria muslim menikahi perempuan non muslim (beda agama). Pernikahan
seorang lelaki muslim menikahi seorang yang non muslim dapat diperbolehkan,
tapi di sisi lain juga dilarang dalam islam, untuk itu terlebih dahulu sebaiknya
kita memahami sudut pandang dari non muslim itu sendiri.
1. laki-laki yang
menikah dengan perempuan ahli kitab (Agama Samawi), yang dimaksud agama samawi
atau ahli kitab disini yaitu orang-orang (non muslim) yang telah diturunkan
padanya kitab sebelum al quran. Dalam hal ini para ulama sepakat dengan agama
Injil dan Taurat, begitu juga dengan nasrani dan yahudi yang sumbernya sama.
Untuk hal seperti ini pernikahannya diperbolehkan dalam islam. Adapun dasar
dari penetapan hukum pernikahan ini, yaitu mengacu pada al quran, Surat
Al Maidah:5, yang artinya sebagai berikut:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا
آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي
أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي
الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Pada
hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi alkitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (dan dihalalkan mengawini) wnita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang kehormatan diantara orang-orangyang diberi alkitab sebelum
kamu, bilakamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dantidak (pula) menjadikannya gundik-gundik”(QS
Al-maidah:5).
Selain
berdasarkan Al-quran surat Almaidah ayat 5 juga berdasarkan sunah nabi, dimana
nabi pernah kawin dengan wanita ahlul kitab yakni Mariah Al-qibtyah (kristen).
Demikian pula dengan sahabat anabi yang termasuk senior bernama Hud Zaifah Bin
Al-Yaman pernah kawin denga seorang wanita yahudi, sedangkan para shabat tidak
ada yang menentangnya.
Namun demikian,
ada sebagian ulama yanag melarang perkawinan antara seorang pria muslim dengan
wanita kristen atau yahudi, karena pada hakikatnya doktrin dan praktek ibadah
kristen dan yahudi itu mengadung unsur syirik yang cukup jelas, misalnya ajaran
trnitasmengkultuskan nabi Isa dan Ibunya Mariyam (Maria) bagi umat kristen dan
kepercayaan uzair putra allah dan mengkultuskan haikal nabi sulaiaman diumat
yahudi.
2. Lelaki muslim
menikah dengan perempuan musryik. Yang dimaksud dengan non muslim yang bukan
ahli kitab disini yaitu kebalikan dari agama samawi (langit), yaitu agama
ardhiy (bumi). Agama Ardhiy (bumi), yaitu agama yang kitabnya bukan diturunkan
dari Allah swt, melainkan dibuat di bumi oleh manusia itu sendiri. Untuk kasus
yang seperti ini, maka diakatakan haram. Adapun dasar hukumnya yaitu al quran
al Baqarah:221.
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
3. Wanita muslimah
menikah dengan laki-laki non-muslim. Ulama telah sepakat bahwa islam melarang
perkawinan antara seorang wanita muslim dengan pria non-Muslim, baik calon
suaminya itu termasuk pemeluk agama agama yang mempunyai kitab suci, seperti
Kristen dn Yahudi (revealed religion), ataupun pemeluk agama yang mempunyai
kitab serupa kitab suci, seperti Budhisme, Hinduisme, maupun pemeluk agama atau
kepercayaan yang tdak miliki kitab suci maupun yang serupa kitab suci.termasuk
pula disini penganut Atheisme, Animisme, Politeisme, dan sebagainya. Adapun
dasar hukum yang memperkuat hal ini adalah pada Al-quran surat al-Baqarah:221.
“Dan janganlah
kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman”.
C.
Perkawian Lintas Agama menurut Empat Mazhab
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan terdahulu,
bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan
seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur
ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah. Akan
tetapi apabila perkawinan tersebut antara seorang laki-laki muslim dengan
wanita non-muslim baik ahlul kitab atau musyrik, maka para ulama berbeda
pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan ahlul kitab
tersebut. Dalam pembahasan terakhir ini penulis akan mencoba membahas tentang hukum perkawinan lintas agama
ini dari sudut pandang ulama empat mazhab, walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai pandangan yang
sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut pandangan
keempat mazhab fiqih tersebut
mengenai hukum perkawinan lintas agama.
1. Mazhab Hanafi.
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan
antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi
membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul
kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah
ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud
dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab
yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi
Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab
Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.
Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul
kitab zimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya
saja menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul
harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung
mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi
hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi
ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.
2. Mazhab Maliki.
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas
agama ini mempunyai dua pendapat yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah
hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim yang berada di
wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh
menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si
isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama
ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut
tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan
pendektan Sad al Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika
dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka
diharamkan.
3. Mazhab Syafi’i.
Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga
berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan
wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan
Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya,
sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab
ini adalah :
a) Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus
untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya.
b) Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS.
Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani
bangsa Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan
Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi
Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an
diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah
Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab,
karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.
4. Mazhab Hambali.
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang
perkawinan beda agama ini, mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita
musyrik, dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan
masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu
Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah
Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel. Saja, tapi menyatakan bahwa
wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum
diutus menjadi Rasul.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian yang telah dijabarkan di makalah ini dapat disimpulkan bahwa pernikahan
litas agama menurut pandangan islam ada yang membolehkan dan ada yang melarang,
namun untuk menjaga kemaslahatan maka pernikahan lintas agama dilarang, karena
mengawini wanita budak lebih baik dari pada wanita musrik seperti yang di
jelaskan al baqarah ayat 221. Hal ini diperjelas dengan hukum yang berlaku di
negara indonesia yang tidak memperbolehkan pernikahan antara orang yang berbeda
agama.
DAFTAR PUSTAKA
Eziezha. 2013. Pernikahan Beda Agama. (online). http://eziezha.blogspot.com/2013/05/pernikahan-beda-agama.html.
Muhammad, Daud Ali. 2005. Hukum
Islam. Jakarta:
PT. Raja Grapindo Persada.
Zuhdi,Masifuk. 1994. Masail Fiqiyah. Jakarta: CV Haji
Masagung.
0 komentar:
Posting Komentar