Sabtu, 28 Desember 2013

pernikahan lintas agama



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pernikahan adalah merupakan sunatullah, bahwa makhluk bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan (Q.S. Al-Dzariyat : 49). Namun terdapat perbedaan yang besar antara manusia yang nota bene memiliki hawa nafsu dan akal dengan hewan yang hanya memilki nafsu. Dengan hanya memiliki nafsu ini hewan tidak bisa berbudaya dan tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, kecuali dalam beberapa hal kecil untuk mempertahankan hidupnya, yang muncul berdasarkan instinct. Oleh karenanya hewan bisa menyalurkan nafsunya dengan sesukanya tanpa batasan, sedangkan manusia tidak dapat menyalurkan nafsunya seperti hewan, melainkan harus dengan peraturan-peraturan yang berbentuk institusi perkawinan.
Dalam sejarah umat manusia, baik manusia priminif maupun manusia modern mengakui adanya institusi perkawinan ini, meskipun dengan cara berbeda-beda. Penyimpangan terhadap ketentuan ini seperti prostitusi dianggap sebagai penyakit masyarakat yang harus dihilangkan. Memang dalam kenyataannya terdapat sejumlah komunitas yang walaupun mengakui institusi perkawinan, tetapi memiliki persepsi yang spesipik tentang hubungan seksual diluar perkawinan. Misalnya saja pada masyarakat Eskimo untuk menghormati tamu yang terpandang menyuruh isterinya untuk tidur dan memberikan pelayanan sex seperlunya kepada tamu tersebut. Demikian pula halnya pada beberapa kelompok suku di pulau Mentawai, Flores, mengizinkan anak-anak gadisnya melakukan hubungan sex diluar nikah, karena anak-anak gadis yang trampil memberikan pelayanan sex akan laku lebih dahulu.
Dalam Islam perkawinan dimaksudkan adalah untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunan, dalam suasana yang mawaddah (saling mencintai) rahmah (saling berkasih sayang) antara suami isteri, hal ini sebagaimana maksud dari makna Q.S. al-Rum : 21. Dan perkawinan yang baik adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang suami dan isteri yang seakidah, seakhlak dan satu tujuan, disamping cinta dan ketulusan hati. Sehingga dibawah naungan keterpaduan inilah kehidupan suami isteri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia anak-anak akan sejahtera, hingga akhirnya terwujud tujuan perkawinan yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.
Menurut pandangan Islam, tujuan perkawinan tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami dan isteri tersebut berpegang pada satu keyakinan yang sama dan mereka teguh dalam melaksanakan ajaran agamanya. Jika agama keduanya berbeda, makan akan timbul berbagai permasalahan dalam keluarga itu, misalnya saja dalam masalah pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain sebagainya yang pasti akan timbul dalam keluarga tersebut. Islam dengan tegas melarang wanita Islam menikah dengan pria non-muslim, baik musrik maupun ahlul kitab, demikian pula halnya seorang pria Islam dilarang menikahi wanita musyrik, kedua bentuk perkwinan ini mutlak diharamkan.
Yang menjadi permasalahan adalah apabila perkawinan itu antara seorang pria Islam dengan wanita Ahlul kitab, bagaimana status perkawinan mereka, berdasarkan zahir ayat 221 Q.S. al-Baqarah maka boleh seorang pria muslim menikahi wanita ahlul kitab, demikian halnya menurut pandangan ulama pada umumnya, kendati demikian tidak sedikit pula ulama yang melarang perkawinan semacam ini, Dalam makalah yang sederhana ini penulis akan mencoba membahas permasalahan tersebut ditinjau dari pandangan ulama mazhab empat dan dikaitkan dengan kenyataan aktual yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini.

B.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah pandangan hukum Indonesia terhadap pernikahan lintas agama?
2.      Bagaimanakah pernikahan beda agama menurut Al-Quran?
3.      Bagaimanakah hukum pernikahan lintas agama menurut empet mazhab?


C.    Tujuan Penulisan Makalah
1.      Untuk mengetahui pandangan hukum Indonesia terhadap pernikahan lintas agama?
2.      Untuk mengetahui pernikahan beda agama menurut Al-Quran?
3.      Untuk mengetahui hukum pernikahan lintas agama menurut empet mazhab?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penikahan antar orang yang berlainan agama menurut hukum di indonesia
Undang-undang perkawinan yang mulai berlaku secara efektif tanggal 1 oktober 1975 mempunyai cirri khas kalu dibandingkan dengan hokum perkawinan sebelumnya terutama dengan undang-undang atau peraturan perkawinan yang dibuat oleh dan diwariskan oleh pemerintah colonial belanda dahulu yang menganggap perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita hanyalah hubungan sekuler, hubungan sipil atau perdata saja, lepas sama sekali dengan agama atau hokum agama. Undang-undang perkawinan yang termaktub dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 berasaskan agama. Artinya sah tidaknya perkawinan seseorang ditentukan oleh hukum agamanya. Ini sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia: Pancasila dan salah satu kaidah fundamental Negara yaitu ketuhanan yang Maha Esa yang disebut dalam pembukaan dan dirumuskan dalam batang Tubuh Undang Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 bab Agama. Pasal 2 ayat 1 Undang Undang perkawinan dengan tegas menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Anak kalmiat “agamanya dan kepercayaannya itu” berasal dari ujung ayat 2 Pasa 29 Undang Undang dasar 1945, dibawah judul agama. Oleh karena itu adalah tepat dan berasalan keterangan almarhum Bung Hatta pada waktu Undang-Undang perkawinan di sahkan pada tahun 1974, seperti telah disinggung di muka, bahwa perkataan kepercayaan dalam pasal 2 ayat 1  Undang-undang perkawinan yang berasal dari Undang-undang Dasar 1945 itu adalah kepercayaan agama yang diakui eksistensinya dalam Negara Republik Indonesia, bukan kepercayaan menurut aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kunci pemahaman yang benar tentang ini adalah: Pasal 29 UUD 1945 berada di bawah judul agama dan perkataan itu yang terletak setelah perkataan “kepercayaan” dimaksud. Kepercayaan menurut aliran kepercayaan adalah kepercayaan menurut agama. Oleh Karena itu adalah logis kalau aliran kepercayaan ditempatkan di Derektorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, bukan di Departemen Agama.
Dengan demikian, di dalam Negara Republik Indonesia, tidak boleh ada dan tidak boleh dilangsungkan pernikahan di luar hukum agama atau kepercayaan agama yang diakui eksistensinya yaitu Islam, Nasrani (baik Katolik maupun Protestan), Hindu dan Buda di tanah air kita. Dan sebagai Konsekuensi di anutnya asas bahwa perkawinan adalah sah kalu dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan agama, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama yang dipeluk oleh warga Negara republik Indonesia.


B.     Perkawinan antar orang yang berbeda agama
Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama adalah perkawinan antar agama, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang beragama non-Islam. Perkawinan antar agama disini dapat terjadi:
1.      Perkawinan antara seorang pria beragama Islam, dengan wanita musryik, maupun ahlul kitab
2.      Perkawinan antara seorang wanita beragama Islam, dengan pria non-muslim.
Mengenai hukum perkawinan beda agama ini disatu sisi melarang dan mengharamkannya. Hal ini disebabkan karena dalam sejumlah ayat yang secara literal melarang dan mengharamkan perkawinan antar agama ini, itulah sebabnya mengapa kelompok ekslusif melarang dan mengharamkan hukum perkawinan antar agama ini.
Hukum seorang pria muslim menikahi perempuan non muslim (beda agama). Pernikahan seorang lelaki muslim menikahi seorang yang non muslim dapat diperbolehkan, tapi di sisi lain juga dilarang dalam islam, untuk itu terlebih dahulu sebaiknya kita memahami sudut pandang dari non muslim itu sendiri.
1.      laki-laki yang menikah dengan perempuan ahli kitab (Agama Samawi), yang dimaksud agama samawi atau ahli kitab disini yaitu orang-orang (non muslim) yang telah diturunkan padanya kitab sebelum al quran. Dalam hal ini para ulama sepakat dengan agama Injil dan Taurat, begitu juga dengan nasrani dan yahudi yang sumbernya sama. Untuk hal seperti ini pernikahannya diperbolehkan dalam islam. Adapun dasar dari penetapan hukum pernikahan ini, yaitu mengacu pada al quran,  Surat Al Maidah:5, yang artinya sebagai berikut:


الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi alkitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wnita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang kehormatan diantara orang-orangyang diberi alkitab sebelum kamu, bilakamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dantidak (pula) menjadikannya gundik-gundik”(QS Al-maidah:5).

Selain berdasarkan Al-quran surat Almaidah ayat 5 juga berdasarkan sunah nabi, dimana nabi pernah kawin dengan wanita ahlul kitab yakni Mariah Al-qibtyah (kristen). Demikian pula dengan sahabat anabi yang termasuk senior bernama Hud Zaifah Bin Al-Yaman pernah kawin denga seorang wanita yahudi, sedangkan para shabat tidak ada yang menentangnya.

Namun demikian, ada sebagian ulama yanag melarang perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita kristen atau yahudi, karena pada hakikatnya doktrin dan praktek ibadah kristen dan yahudi itu mengadung unsur syirik yang cukup jelas, misalnya ajaran trnitasmengkultuskan nabi Isa dan Ibunya Mariyam (Maria) bagi umat kristen dan kepercayaan uzair putra allah dan mengkultuskan haikal nabi sulaiaman diumat yahudi.

2.      Lelaki muslim menikah dengan perempuan musryik. Yang dimaksud dengan non muslim yang bukan ahli kitab disini yaitu kebalikan dari agama samawi (langit), yaitu agama ardhiy (bumi). Agama Ardhiy (bumi), yaitu agama yang kitabnya bukan diturunkan dari Allah swt, melainkan dibuat di bumi oleh manusia itu sendiri. Untuk kasus yang seperti ini, maka diakatakan haram. Adapun dasar hukumnya yaitu al quran al Baqarah:221.

وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

3.      Wanita muslimah menikah dengan laki-laki non-muslim. Ulama telah sepakat bahwa islam melarang perkawinan antara seorang wanita muslim dengan pria non-Muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dn Yahudi (revealed religion), ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhisme, Hinduisme, maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tdak miliki kitab suci maupun yang serupa kitab suci.termasuk pula disini penganut Atheisme, Animisme, Politeisme, dan sebagainya. Adapun dasar hukum yang memperkuat hal ini adalah pada Al-quran surat al-Baqarah:221.

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman”.

C.    Perkawian Lintas Agama menurut Empat Mazhab
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlul kitab atau musyrik, maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan ahlul kitab tersebut. Dalam pembahasan terakhir ini penulis akan mencoba membahas tentang hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang ulama empat mazhab, walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqih tersebut mengenai hukum perkawinan lintas agama.
1.      Mazhab Hanafi.
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.
Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.

2.      Mazhab Maliki.
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Sad al Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.

3.      Mazhab Syafi’i.
Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah :
a)      Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya.
b)      Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.

4.      Mazhab Hambali.
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini, mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel. Saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.



BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan di makalah ini dapat disimpulkan bahwa pernikahan litas agama menurut pandangan islam ada yang membolehkan dan ada yang melarang, namun untuk menjaga kemaslahatan maka pernikahan lintas agama dilarang, karena mengawini wanita budak lebih baik dari pada wanita musrik seperti yang di jelaskan al baqarah ayat 221. Hal ini diperjelas dengan hukum yang berlaku di negara indonesia yang tidak memperbolehkan pernikahan antara orang yang berbeda agama.



DAFTAR PUSTAKA

Eziezha. 2013. Pernikahan Beda Agama. (online). http://eziezha.blogspot.com/2013/05/pernikahan-beda-agama.html.
Muhammad, Daud Ali.  2005. Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.
Zuhdi,Masifuk. 1994. Masail Fiqiyah. Jakarta: CV Haji Masagung.



                             

0 komentar:

Posting Komentar